Perlindungan Konsumen Rumah Susun Lemah
JAKARTA, KOMPAS.com - Perlindungan terhadap konsumen perumahan hingga saat ini masih lemah. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, pengaduan konsumen atas kasus perumahan selama tahun 2009 mencapai 72 kasus, atau meningkat 46 persen dibandingkan tahun 2008, yaitu 49 kasus.
Kasus perumahan yang dilaporkan itu adalah puncak gunung es dari sekian banyak kasus perumahan
Demikian dipaparkan Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo di Jakarta, Rabu (10/2/2010). Pengaduan kasus perumahan ke YLKI menempati urutan lima besar dalam kurun lima tahun terakhir.
"Kasus perumahan yang dilaporkan itu adalah puncak gunung es dari sekian banyak kasus perumahan," ujar Sudaryatmo.
Kasus perumahan yang dilaporkan, antara lain, meliputi sengketa antara penghuni dengan pengembang rumah tinggal ataupun rumah susun. Muncul kecenderungan, konflik rumah susun bersumber dari persoalan pemanfaatan benda bersama.
Dijelaskan, rumah susun yang telah dihuni wajib diserahkan pengelolaannya kepada Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Namun, dalam praktiknya, sebagian pengembang rumah susun ingin sekaligus menjadi pengelola hunian dengan menempatkan personelnya dalam kepengurusan PPRS atau membentuk badan pengelola rumah susun yang terafiliasi dengan perusahaan pengembang.
Dampaknya, ujar Sudaryatmo, aspirasi penghuni menjadi terabaikan, sedangkan kepentingan pengembang dalam pemanfaatan rumah susun menjadi dominan. Dicontohkan, peruntukan ruang serba guna bagi penghuni rumah susun dialihfungsikan menjadi ruang komersial.
"Diperlukan regulasi yang tegas dan rinci mengenai aturan kepenghunian rumah susun guna menghindari persoalan antara penghuni dengan pengembang," ujar Sudaryatmo.
Revisi aturan
Ketua Perhimpunan Penghuni Rumah Susun, Ibnu Taji, mengingatkan, pembenahan aturan kepenghunian mendesak mengingat saat ini semakin banyak dibangun rumah susun dengan pola hunian campuran.
Aturan kepenghunian perlu merinci tentang pembedaan tarif atau iuran antara penghuni rumah susun yang bersubsidi dan nonsubsidi dalam hunian campuran. Hal itu guna meringankan beban masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Ibnu mengatakan, komposisi iuran wajib penghuni rumah susun meliputi tiga komponen. Pertama, operasional gedung, di antaranya meliputi lift, penerangan, jasa keamanan, kebersihan. Kedua, perbaikan sarana gedung; dan ketiga, tabungan pembangunan kembali menara rumah susun. Iuran wajib itu berlaku sama bagi setiap penghuni.
Adapun iuran pengelolaan fasilitas tambahan, yakni fasilitas kolam renang, lapangan mini golf, pusat kebugaran, sarana hiburan perlu diatur dengan mekanisme subsidi silang antara penghuni yang bersubidi dan nonsubsidi. Dengan demikian, penghuni berpenghasilan menengah ke bawah tidak terbebani oleh iuran yang mahal.
source: kompas.com
Pakar Perlindungan Konsumen Serang RS Omni
VIVAnews - Sidang kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Prita Mulyasari terhadap Rumah Sakit Omni Internasinal Alam Sutera kembali digelar di Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu, 28 Oktober 2009. Sidang menghadirkan saksi ahli perlindungan konsumen.
Saksi adalah pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bidang Pengaduan, Sudaryatmo. Ia mengatakan, keluhan yang dituangkan Prita dalam surat elektronik adalah bagian dari hak pasien atas pelayanan buruk RS Omni.
Menurutnya, pasien termasuk kategori konsumen jasa profesional yang ada dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. "Konsumen berhak mengeluh dan mengemukakan pendapat atas pelayanan yang buruk. Ini legal dan dilindungi undang-undang," ujarnya.
Ia juga mengkritik manajemen RS Omni yang tak memberikan dokumen rekam medis selama Prita berobat. Tak seharusnya RS Omni menuntut Prita. "Pelaku usaha seharusnya memperluas akses komplain bagi konsumen," ujarnya.
Atas keterangan itu, Jaksa Penuntut Umum, Riyadi, menilai saksi ahli tak memiliki relevansi. Menurutnya, definisi konsumen yang ditangani YLKI adalah yang berhubungan dengan Departemen Perdagangan. "Sedangkan pasien sudah diatur dalam UU Praktik kedokteran yang koordinasinya ada di Departemen Kesehatan," ujar Riyadi.
***
Kisah Prita bermula saat ia memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Hasil laboratorium menyatakan kadar trombositnya 27.000, jauh di bawah normal 200.000. Akibatnya ia harus menjalani rawat inap dan mendapat terapi sejumlah obat.
Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Prita tak membaik. Saat keluarga meminta penjelasan, dokter malah menyampaikan revisi hasil tes trombosit dari 27.000 menjadi 181.000 tanpa memberikan lembar tertulis laboratorium. Dokter mengatakan Prita menderita demam berdarah.
Namun kesembuhan tak kunjung ia dapat. Lehernya malah bengkak. Maka ia memutuskan pindah rumah sakit. Di rumah sakit kedua, Prita ternyata didiagnosa menderita penyakit gondong bukan demam berdarah. Prita pun sembuh.
Atas kondisi itulah Prita merasa dirugikan RS Omni Internasional. Ibu dua anak itu kemudian menulis surat keluhan dan mengirim kepada sejumlah rekannya melalui email. Dalam waktu singkat email itu beredar luas di sejulah milis dan blog.
Surat itu pun terbaca manajemen RS Omni Internasional. Atas keluhan Prita, rumah sakit di kawasan Alam Sutera itu kemudian menyeret Prita ke jalur hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Prita yang terancam enam tahun penjara ditahan pada 13 Mei 2009. Namun tiga minggu kemudian hakim mengabulkan penangguhan penahanan Prita setelah muncul berbagai dukungan dari publik dan pejabat pemerintah. Hakim PN Tangerang juga menghentikan kasus Prita melalui putusan sela pada 25 Juni lalu. Namun, jaksa mengajukan banding atas keputusan tersebut dan terkabul.
Sementara pada Senin 8 Juli 2009, Komisi Kesehatan DPR merekomendasikan pencabutan izin Rumah Sakit Omni.
Saksi adalah pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bidang Pengaduan, Sudaryatmo. Ia mengatakan, keluhan yang dituangkan Prita dalam surat elektronik adalah bagian dari hak pasien atas pelayanan buruk RS Omni.
Menurutnya, pasien termasuk kategori konsumen jasa profesional yang ada dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. "Konsumen berhak mengeluh dan mengemukakan pendapat atas pelayanan yang buruk. Ini legal dan dilindungi undang-undang," ujarnya.
Ia juga mengkritik manajemen RS Omni yang tak memberikan dokumen rekam medis selama Prita berobat. Tak seharusnya RS Omni menuntut Prita. "Pelaku usaha seharusnya memperluas akses komplain bagi konsumen," ujarnya.
Atas keterangan itu, Jaksa Penuntut Umum, Riyadi, menilai saksi ahli tak memiliki relevansi. Menurutnya, definisi konsumen yang ditangani YLKI adalah yang berhubungan dengan Departemen Perdagangan. "Sedangkan pasien sudah diatur dalam UU Praktik kedokteran yang koordinasinya ada di Departemen Kesehatan," ujar Riyadi.
***
Kisah Prita bermula saat ia memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Hasil laboratorium menyatakan kadar trombositnya 27.000, jauh di bawah normal 200.000. Akibatnya ia harus menjalani rawat inap dan mendapat terapi sejumlah obat.
Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Prita tak membaik. Saat keluarga meminta penjelasan, dokter malah menyampaikan revisi hasil tes trombosit dari 27.000 menjadi 181.000 tanpa memberikan lembar tertulis laboratorium. Dokter mengatakan Prita menderita demam berdarah.
Namun kesembuhan tak kunjung ia dapat. Lehernya malah bengkak. Maka ia memutuskan pindah rumah sakit. Di rumah sakit kedua, Prita ternyata didiagnosa menderita penyakit gondong bukan demam berdarah. Prita pun sembuh.
Atas kondisi itulah Prita merasa dirugikan RS Omni Internasional. Ibu dua anak itu kemudian menulis surat keluhan dan mengirim kepada sejumlah rekannya melalui email. Dalam waktu singkat email itu beredar luas di sejulah milis dan blog.
Surat itu pun terbaca manajemen RS Omni Internasional. Atas keluhan Prita, rumah sakit di kawasan Alam Sutera itu kemudian menyeret Prita ke jalur hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Prita yang terancam enam tahun penjara ditahan pada 13 Mei 2009. Namun tiga minggu kemudian hakim mengabulkan penangguhan penahanan Prita setelah muncul berbagai dukungan dari publik dan pejabat pemerintah. Hakim PN Tangerang juga menghentikan kasus Prita melalui putusan sela pada 25 Juni lalu. Namun, jaksa mengajukan banding atas keputusan tersebut dan terkabul.
Sementara pada Senin 8 Juli 2009, Komisi Kesehatan DPR merekomendasikan pencabutan izin Rumah Sakit Omni.
source: vivanews.com
Pengingkaran Perlindungan Hak-hak Konsumen pada Kasus Bahan Bakar Minyak (BBM)
Konsumen dilindungi haknya untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan. Banyaknya minyak oplosan yang beredar, harus menjadi perhatian pemerintah, karena hal itu tentu akan merugikan konsumen sebagai pemakai. Pelayanan yang benar dan jujur, serta tidak diskriminatif juga merupakan hak-hak konsumen yang harus diperhatikan.
Pengingkaran Perlindungan Hak-hak Konsumen pada Kasus BBM
Hal ini kasus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat konsumen tetaplah menjadi objek penderita meskipun akan diupayakan adanya subsidi dan kompensasi dalam berbagai bentuk. Ini berarti bahwa produk-produk kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, yang ditandai dengan kenaikan elpiji sebesar 41,6% dan harga BBM yang besarnya direncanakan sebesar 40% semakin memperjelas beban masyarakat sebagai konsumen akan semakin berat.
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini sama sekali bertentangan dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 29 UUPK, bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Secara teknis, kewajiban pemerintah itu dilaksanakan oleh menteri, atau menteri teknis terkait.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mestinya memperjuangkan nasib rakyat, ternyata sekadar stempel pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang diambil dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat. Kalaupun terjadi perubahan dalam hal persentase kenaikannya, nilai perubahan itu dapat dipastikan tidak sesuai dengan kondisi yang berkembang dan tuntutan masyarakat. Rakyat menjerit karena harga-harga sudah telanjur meningkat jauh sebelum kepastian kenaikan harga BBM diputuskan. Meskipun pemerintah secara aktif dan terus-menerus melakukan sosialisasi, kenyataannya upaya tersebut tidak akan mampu mempengaruhi melambungnya harga-harga.
Perlindungan Konsumen Terabaikan
Evaluasi yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan bahwa selama tahun 2004, bidang pengaduan YLKI menerima 457 pengaduan konsumen (melalui surat dan datang langsung). Dari banyaknya kasus tersebut, sepuluh besar komoditas yang diadukan ke YLKI berturut-turut adalah bidang perumahan 76 pengaduan, listrik 67 pengaduan, PDAM 66 pengaduan, jasa telekomunikasi 54 pengaduan, bank 38 pengaduan, produk elektronik 24 pengaduan, jasa transportasi 19 pengaduan, asuransi 18 pengaduan, leasing 15 pengaduan, produk makanan/minuman 10 pengaduan. Pusat data YLKI mencatat kasus keracunan makanan di Indonesia sepanjang tahu 2004 lebih dari 53 kejadian, dengan korban lebih dari 2.000 orang, baik yang dirawat di rumah sakit maupun tidak.
Jumlah pengaduan di atas sebenarnya belum tercakup unit bisnis atau usaha massa, seperti BBM. Bayangkan saja, jika kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Pertamina, jumlah pengaduan mungkin akan bertambah banyak dan tidak terghitung jumlahnya. Pengaduan tersebut bisa secara perseorangan (individu) ataupun organisasi/ lembaga. Tapi yang perlu kita pahami di sini adalah kenyataan bahwa masyarakat, terutama masyarakat kecil tetap menjadi korban. Dengan demikian, eksistensi UUPK tampaknya semakin melenceng tidak sesuai yang sebagaimana seharusnya.
Bila kita tarik ke belakang, secara historis, UUPK lahir dimaksdukan untuk lebih memberdayakan konsumen. Konsumen tidak lagi dijadikan sebagai target pasar semata, melainkan dapat menjadi mitra dan jaminan pasar jangka panjang. Atas dasar itulah, maka pada tanggal 20 April 1999 pemerintahan Habibie mengesahkannya menjadi UU, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2000. Ini berarti usia UUPK hampir memasuki usia 5 tahun, dan hebatnya, setiap memasuki tahun baru konsumen selalu menyambutnya dengan kenaikan harga-harga, termasuk elpiji dan BBM.
Kenapa UUPK tidak mencapai target yang diharapkan.
Cukup sudah selama lima tahun mungkin untuk proses implementasi sehingga target yang diharapkan dari UUPK dapat tercapai. Akan tetapi apa yang menyebabkan UUPK tidak dapat diimplementasikan sampai saat ini? Dilihat dari perkembangan yang ada, UUPK tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh beberapa hal, adalah sebagai berikut:
- UUPK adalah warisan kabinet Habibie. Kebiasaan yang terjadi di negara kita adalah bahwa setiap ada pergantian kepemimpinan (kabinet), maka akan diikuti dengan pergantian kebijakan, sehingga pemerintahan yang baru hanya mengutamakan produk kebijakannya untuk memperoleh popularitas. Kebijakan lama yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya hanya dipandang sebagai suatu proses dan bukan pada nilai kemanfaatannya.
- Adanya tarik-menarik kekuasaan. Apa yang tergambarkan saat ini di mana hampir pada setiap partai politik selalu muncul konflik internal. Masing-masing kelompok menginginkan posisi dan kedudukan yang lebih besar. Pada kasus kenaikan harga BBM, orang-orang yang ada di DPR tidak memiliki kemauan kuat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan cara mengkaji lebih mendalam faktor penyebab dan bentuk kompensasi yang efektif atas kenaikan tersebut.
- Lemahnya perangkat hokum dan kurang tegasnya aparatur. Kondisi yang terakhir ini memang telah dirasakan jauh sebelum UU itu disahkan. Peta hukum kita yang masih berpihak pada kelompok atau individu yang kuat menjadikan konsumen kita selalu lemah di hadapan hukum.
Adapun contoh-contoh kasus tidak seriusnya pemerintah dalam menangani perlindungan hak-hak konsumen, adalah sebagai berikut:
a) Kasus Ajinomoto
b) Kasus Kratingdaeng
c) Kasus Minuman Tradisional
d) Kasus Obat nyamuk
e) Kasus obat-obat impor dan lain-lain
Dan juga belum termasuk masalah-masalah yang terkait dengan pelayanan publik, seperti tarif listrik, telepon dan PDAM. Kasus-kasus tersebut hilang begitu saja, dan bahkan muncul dengan tampilan baru. Kasus-kasus tersebut tidak mampu diselesaikan secara tuntas mengingat masyarakat harus berhadapan dengan para pengusaha besar (konglomerat) yang terkadang ikut menyetir jalannya proses hukum. Dalam istilah yang sederhana bisa dikatakan bahwa konsumen Indonesia telah termakan oleh hukum yang melindungi mereka sendiri.
Solusi perlindungan hak-hak konsumen
Menyikapi kondisi yang terjadi saat ini, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait tidak boleh tinggal diam. Kita memang patut mendukung upaya-upaya yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan elemen mahasiswa yang selalu mengkritisi munculnya kebijakan kenaikan harga-harga. Maka untuk menegakkan UUPK dan perlindungan hak-hak konsumen perlu di ingat dan dipertahankan sebagao berikut:
- UUPK menjamin hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 04 UUPK bahwa konsumen dilindungi haknya atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (poin c). Dalam hal ini pemerintah harus dapat menjamin bahwa kenaikan harga BBM harus betul-betul didasarkan atas perhitungan untung rugi (matematik), dan barang yang diperjualbelikan benar-benar layak untuk dikonsumsi.
- Konsumen juga dilindungi haknya untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan (poin d). Banyaknya minyak oplosan yang beredar, harus menjadi perhatian pemerintah, karena hal itu tentu akan merugikan konsumen sebagai pemakai. Pelayanan yang benar dan jujur, serta tidak diskriminatif juga merupakan hak-hak konsumen yang harus diperhatikan. Apabila ketentuan-ketentuan di atas tidak dipenuhi secara baik oleh badan usaha (pelaku usaha dan lembaga pemerintahan), maka menjadi hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Peran serta dan keterlibatan pihak-pihak terkait seperti, Badan perlindungan Konsumen Indonesia (BPKN, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), yang diwakili oleh YLKI, serta kelompok-kelompok mahasiswa diharapkan dapat menjadi kontrol utama atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga, UUPK sangat strategis dalam meningkatkan harkat dan martabat konsumen yang masih sering diabaikan oleh para pelaku bisnis termasuk pemerintah.
Sehingga tercapailah keselarasan dan keseimbangan antara pihak penegak hukum dan konsumen yang mana konsumen adalah salah satu aset yang mana untuk menbantu dan ikut serta dalam pembangunan perekonomian di Indonesia baik secara mikro ataupun secara makro. Di perlukan ketegasan dan konsistensi penegak hokum untuk menjalankan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Maka perlu dan wajib kiranya di lindungi hak-hak konsumen terhadap produk dan jasa selama ini.
No comments:
Post a Comment