Dec 29, 2012

Audit Lingkungan

LATAR BELAKANG
a.  Setiap bidang usaha wajib memelihara kelestarian lingkungan
b.  Audit lingkungan suatu perangkat pengelolaan lingkungan
c.  Audit  lingkungan  dapat  membantu  menemukan  penyelesaian  masalah
lingkungan hidup

DEFINISI AUDIT LINGKUNGAN (Kep. Men.LH  42/1994)
AUDIT LINGKUNGAN ADALAH SUATU ALAT MANAJEMEN  YANG MELIPUTI
EVALUASI  SECARA  SISTEMATIK,  TERDOKUMENTASI,  PERIODIK  DAN OBYEKTIF TENTANG BAGAIMANA SUATU KINERJA ORGANISASI SISTEM MANAJEMEN  DAN  PERALATAN  DENGAN  TUJUAN  MENFASILITASI KONTROL  MANAJEMEN  TERHADAP  PELAKSANAAN  UPAYA PENGENDALIAN  DAMPAK  LINGKUNGAN  DAN  PENGKAJIAN PEMANFAATAN  KEBIJAKAN  USAHA  ATAU  KEGIATAN  TERHADAP PERATURAN  PERUNDANG  UNDANGAN  TENTANG  PENGELOLAAN LINGKUNGAN.
  
PENGERTIAN AUDIT LINGKUNGAN
a. Alat manajemen
Berisi evaluasi (sistematik, terdokumentasi, periodik dan obyektif)
b.  Sasaran
(1) Mengetahui kinerja
(a)   Organisasi
(b)   Sistem manajemen
(c)   Peralatan
(d)  Pentaatan Peraturan Perundangan

(2) Pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan

FUNGSI AUDIT LINGKUNGAN
a.  Upaya  peningkatan  pentaatan  terhadap  peraturan  :  misal  baku  mutu
lingkungan
b.  Dokumen suatu usaha pelaksanaan :
(a)  SOP (Prosedur Standar Operasi)
(b) Pengelolaan dan Pemanfaatan Lingkungan
(c) Tanggap Darurat
c.  Jaminan menghindari kerusakan lingkungan
d.  Realisasi dan keabsahan prakiraan dampak dalam dokumen AMDAL.
e.  Perbaikan  penggunaan  sumberdaya  (penghematan  bahan,  minimasi  limbah,
identifikasi proses daur hidup).

MANFAAT AUDIT LINGKUNGAN
a.  Mengidentifikasi resiko lingkungan
b.  Menjadi dasar pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan
c.  Menghindari  kerugian  finansial  (penutupan  usaha,  pembatasan  usaha,
publikasi pencemaran nama)
d.  Mencegah tekanan sanksi hukum
e.  Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dalam proses peradilan
f.  Menyediakan informasi

PRINSIP DASAR

a.  Karakteristik
(1) Metodologi Komprehensif
(2) Konsep pembuktian dan pengujian
(3) Pengukuran dan standar yang sesuai
(4) Laporan tertulis

b.  Kunci Keberhasilan
(1) Dukungan pihak pimpinan
(2) Keikutsertaan semua pihak
(3) Kemandirian dan obyektifiktas auditor
(4) Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup audit

Sumber : http://saveforest.webs.com/audit_lingkungan.pdf

Dec 28, 2012

Kasus Enron

Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. 

Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants,membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.

Pada beberapa tahun yang lalu beberapa perusahaan seperti Enron dan Worldcom yang dinyatakan bangkrut oleh pengadilan dan Enron perusahaan energi terbesar di AS yang jatuh bangkrut itu meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar, karena salah strategi dan memanipulasi akuntansi yang melibatkan profesi Akuntan Publik yaitu Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen. Arthur Andersen, merupakan kantor akuntan public yang disebut sebagai “The big five” yaitu (pricewaterhouse coopers, deloitte & touché, KPMC, Ernest & Young dan Anderson) yang melakukan Audit terhadap laporan keuangan Enron Corp. Laporan keuangan maupun akunting perusahaan yang diaudit oleh perusahaan akunting ternama di dunia, Arthur Andersen, ternyata penuh dengan kecurangan (fraudulent) dan penyamaran data serta syarat dengan pelanggaran etika profesi.

Akibat gagalnya Akuntan Publik Arthur Andersen menemukan kecurangan yang dilakukan oleh Enron maka memberikan reaksi keras dari masyarakat (investor) sehingga berpengaruh terhadap harga saham Enron di pasar modal. Kasus Enron ini menyebabkan indeks pasar modal Amerika jatuh sampai 25 %.

Perusahaan akuntan yang mengaudit laporan keuangan Enron, Arthur andersen, tidak berhasil melaporkan penyimpangan yang terjadi dalam tubuh Enron. Di samping sebagai eksternal auditor, Arthur andersen juga bertugas sebagai konsultan manajemen Enron. Besarnya jumlah consulting fees yang diterima Arthur Andersen menyebabkan KAP tersebut bersedia kompromi terhadap temuan auditnya dengan klien mereka.

KAP Arthur Andersen memiliki kebijakan pemusnahan dokumen yang tidak menjadi bagian dari kertas kerja audit formal. Selain itu, jika Arthur Andersen sedang memenuhi panggilan pengadilan berkaitan dengan perjanjian audit tertentu, tidak boleh ada dokumen yang dimusnahkan. Namun Arthur Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan.

Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Akibatnya, banyak klien Andersen yang memutuskan hubungan dan Arthur Andersen pun ditutup. Penyebab kecurangan tersebut diantaranya dilatarbelakangi oleh sikap tidak etis, tidak jujur, karakter moral yang rendah, dominasi kepercayaan, dan lemahnya pengendalian.
Faktor tersebut adalah merupakan perilaku tidak etis yang sangat bertentangan dengan good corporate governance philosofy yang membahayakan terhadap business going cocern. Begitu pula praktik bisnis Enron yang menjadikannya bangkrut dan hancur serta berimplikasi negatif bagi banyak pihak.Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor Enron saja, tetapi terutama karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya dalam saham perusahaan serta investor di pasar modal pada umumnya (social impact).
Milyaran dolar kekayaan investor terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham berbagai perusahaaan di bursa efek. Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder atau principal untuk memberikan suatu fairrness information mengenai pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal. Pihak agent dalam hal ini manajemen Enron telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya (self interest oriented) dengan melupakan norma dan etika bisnis yang sehat.
Pada tanggal 25 Juni 2002, datang berita yang mengejutkan bahwa perusahaan raksasa, WorldCom juga mengalami masalah keuangan. Kemajuan dari kagagalan membuat dua pembuat undang-undang AS, Michael Oxley dan Paul Sarbanes, menggabungkan usaha mereka dan mengemukakan perundang-undangan perubahan tata kelola yang lebih dikenal sebagai Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX 2002).

Skandal keuangan yang terjadi dalam Enron dan Worldcom yang melibatkan KAP yang termasuk dalam “the big five” mendapatkan respon dari Kongres Amerika Serikat, salah satunya dengan diterbitkannya undang-undang (Sarbanex-Oxley Act) yang diprakarsai oleh senator Paul Sarbanes (Maryland) dan wakil rakyat Michael Oxley (Ohio) yang telah ditandatangani oleh presiden George W. Bush.

Untuk menjamin independensi auditor, maka KAP dilarang memberikan jasa non-audit kepada perusahaan yang di-audit. Berikut ini adalah sejumlah jasa non-audit yang dilarang:
• Pembukuan dan jasa lain yang berkaitan.
• Desain dan implementasi sistem informasi keuangan.
• Jasa appraisal dan valuation
• Opini fairness
• Fungsi-fungsi berkaitan dengan jasa manajemen
• Broker, dealer, dan penasihat investasi

Salah satu hal yang ditekankan pasca Skandal Enron atau pasca Sarbanes Oxley Act ini adalah perlunya Etika Professi. Selama ini bukan berarti etika professi tidak penting bahkan sejak awal professi akuntan sudah memiliki dan terus menerus memperbaiki Kode Etik Professinya baik di USA maupun di Indonesia.

Analisis :
 Dari kasus tersebut ditemui adanya kecurangan yang dilakukan oleh Enron yaitu adanya pemanipulasian laporan keuangan. KAP Andersen juga terlibat dalam kasus tersebut karena adanya campur tangan dalam penghancuran dokumen yang berkaitan dengan kebangkrutan Enron. Dalam kasus tersebut juga terdapat pelanggaran terhadap prinsip etika profesi akuntasi. Seharusnya sebagai seorang akuntan, harus menjalankan prinsip etika profesi akuntansi. Untuk mencegah terjadinya kasus seperti ini diperlukan pula penerapan etika dalam bermasyarakat. Walaupun semakin banyak aturan yang dikeluarkan oleh Standard Setting Body sepertiFASB (Financial Accounting Standard Board) atau Regulator pemerintah seperti SEC (Security Exhange Commission) namun kecurangan selalu dapat ditutupi dan dicari celah sehingga sampai pada puncaknya dimana kecurangan itu terungkap dan menyebabkan kerugian semua pihak terutama investor dan berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada professi akuntan dan sistem pasar modal.

 source: http://pipitpuspita.blog.esaunggul.ac.id/2012/06/pemeriksaan-akuntansi_kode-etik-profesi/

CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI AKUNTAN

Kasus pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik kembali muncul. Menteri Keuangan pun memberi sanksi pembekuan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati  membekukan izin Akuntan Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan selama dua tahun, terhitung sejak 15 Maret 2007. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan Samsuar Said dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Selasa (27/3), menjelaskan sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Pelanggaran itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004 yang dilakukan oleh Petrus. Selain itu, Petrus juga telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004. Selama izinnya dibekukan, Petrus dilarang memberikan jasa atestasi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang bersangkutan juga dilarang menjadi pemimpin rekan atau pemimpin cabang KAP, namun dia tetap bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003. Pembekuan izin yang dilakukan oleh Menkeu ini merupakan yang kesekian kalinya. Pada 4 Januari 2007, Menkeu membekukan izin Akuntan Publik (AP) Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno selama 18 bulan. Djoko dinilai Menkeu telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dengan hanya melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Myoh Technology Tbk (MYOH). Penugasan ini dilakukan secara berturut-turut sejak tahun buku 2002 hingga 2005.



Komentar:

Pada kasus ini, yaitu dibekukannya izin Drs. Mitra Winata dan Rekan dari Kantor Akuntan Publik (KAP) karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan kasus pelanggaran lainya seperti Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dan pembekuan izin terhadap Akuntan Publik Justinus Aditya Sidharta yang terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap SPAP berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi akan mencoreng nama baik dari akuntan publik dan hal ini akan sangat merugikan seperti hilangnya kepercaayaaan masyarakat. Dari kasus diatas juga dapat disimpulkan bahwa terjadi pelanggaran terhadap salah satu prinsip etika profesi yaitu prinsip STANDAR TEKHNIS. Dimana dalam standar tekhnis setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar tekhnis dan standar profesional yang relevan. sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar tekhnis dan standar profesional yang harus ditaati oleh anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), International Federation of Accountans, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.
 

Ditjen Pajak Turuti Proses Hukum Mengenai Kasus Pengadaan Sistem Informasi

Ditjen Pajak Turuti Proses Hukum Mengenai Kasus Pengadaan Sistem Informasi
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyerahkan sepenuhnya proses hukum atas dua pegawai mereka yang resmi menjadi tersangka dalam kasus pengadaan sistem informasi di tubuh perpajakan negara. Direktur Penyuluhan dan Bimbingan Pelayanan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Dedi Rudaedi mengaku prihatin atas kasus tersebut. “Tapi kami sangat kooperatif dengan pihak berwajib agar segara tuntas,” ujar Dedi dalam jumpa pers di kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat(4/11/2011).
Dedi juga menegaskan, kasus yang terjadi di dalam tubuh instansi perpajakan tersebut bukanlah kasus perpajakan, tetapi murni kasus pengadaan barang. “Kasus tersebut sangat berbeda substansinya dengan perpajakan. Tapi kami dukung proses hukum yang berlaku. Kami tidak akan menghalangi, justru kami dukung penuh karena kami sedang berbenah agar tidak ada intervesi dari pihak pihak lainnya,” tegasnya. Seperti diketahui, Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) kemarin melakukan penggeledahan di sejumlah tempat sebagai upaya pengungkapan dugaan korupsi pengadaan sistem informasi di Ditjen Pajak tahun anggaran 2006. Sejumlah dokumen penting terkait pengadaan barang sistem informasi ditemukan dalam penggeledahan tersebut. Pasca penggeledahan, Kejagung pun menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini. Tersangka pertama bernisial B, dan menjabat sebagai ketua panitia proses pengadaan sistem informasi manajamen. Tersangka kedua bernisial PS, dan menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen. Kasus ini sendiri bergulir pada tahun anggaran 2006. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari proyek total senilai Rp43 miliar, diduga adanya praktik penyelewengan dana Rp12 miliar. Kedua tersangka dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dia menegaskan, ke depannya dengan penurunan kinerja tersebut dapat mempengaruhi pada anjloknya penerimaan negara dari pajak. “Yang membahayakan pada konteks penerimaan pajak, itu yang penting,” tambahnya. Namun Dedi menganggap semua permasalahan yang terjadi saat ini sebagai pembelajaran dan menjadi evaluasi yang berharga bagi institusinya. “Kita prihatin iya, tapi ada hikmah yang bisa diambil. Dan pembelajaran luar biasa untuk melakukan pembenahan, ini bagian kita guna evaluasi diri,” ungkap Dedi.

Komentar:
  1. Terdapat penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh tersangka B dan PS
  2. Bersekongkol untuk menggelapkan atau mengambil dana yang bukan haknya senilai Rp 12M, untuk kepentingan pribadi (korupsi)
  3. Institusi pajak paling riskan dengan tindakan-tindakan korupsi, karena disana uang-uang dari rakyat yang akan digunakan untuk kepentingan publik
  4. Sebaiknya sebelum mensetujui anggaran, sebaiknya diperiksa dengan seksama dan mempunyai tim audit internal guna mengontrol setiap kegiatan keuangan suatu institusi
  5.  Harus mempunyai tim penilai
  6. Harus mempunyai supervisor untuk mengawasi kegiatan
  7. Menurunnya kepercayaan masyarakat pada institusi tersebut

Lambatnya Audit BPK Hambat Penuntasan Kasus Korupsi

JEMBER, Jaringnews.com - Kejaksaan Negeri Jember dinilai lamban dalam menangani sejumlah kasus tipikor (tindak pidana korupsi). Hingga saat ini, sejumlah berkas kasus korupsi belum dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Belakangan diketahui, lambatnya penuntasan berkas tipikor itu terhambat oleh audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Jember, Kliwon Sugiyanta, membantah jika pihaknya sengaja memperlambat penaganan sejumlah kasus tipikor. Semisal, kasus tipikor terkait sewa pesawat di Lapangan Terbang (Lapter) Notohadinegoro, juga dugaan korupsi dalam proyek bedah rumah. Termasuk, kasus pengadaan laptop yang menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah)

Kliwon Sugiyanta, mengatakan, ada beberapa kendala yang dihadapi jaksa, untuk melimpahkan sejumlah kasus tipikor. Kliwon mencontohkan, untuk kasus dugaan korupsi sewa pesawat di Lapter Notohadinegoro dan kasus bedah rumah.

"Sejauh ini, kami masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan untuk menentukan besaran kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi," ujarnya, Minggu (30/9)

Sebenarnya, kata Kliwon, Kepala Kejari Jember telah berulang kali menyurati BPK dan meminta hasil audit atas kedua kasus. Namun hingga sekarang, BPK belum juga membalasnya. Padahal, hasil audit BPK itu akan dilampirkan ke dalam berkas penyidikan yang akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Surabaya.

"Untuk diketahui, kami tidak pernah mengulur dan memperlambat proses penyidikan kasus tipikor di Jember. Proses audit BPK yang memakan waktu cukup lama, membuat kami harus sabar menunggu. Tapi, sejumlah kasus tipikor di Jember pasti tuntas dan berujung di meja pengadilan," tandas Kliwon.

source: http://jaringnews.com/keadilan/tipikor/24194/lambatnya-audit-bpk-hambat-penuntasan-kasus-korupsi

Kasus Audit Umum PT Kereta Api Indonesia (KAI)

Penerapan proses GCG dalam suatu perusahaanmerupakan proses yang tidak mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan dalam perusahaan. Dalam perusahaan publik maupun di BUMN penerapan proses GCG belum diterapkan dan dipahami seutuhnya. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus – kasus yang terjadi.


Seperti kasus audit umum yang dialami oleh PT KAI. Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas di dalam menyajikan laporan keuangan yang tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang semestinya. PT KAI memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan lainnya.

Permasalahan yang dihadapi PT KAI

Kasus ini bermuara dari perbedaan pandangan antara manajemen dan komisaris, khususnya ketua komite audit. Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal.

Perbedaan pandangan tersebut bersumber pada perbedaan pendapat mengenai:

1.      Masalah piutang PPN
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp 95,2 M, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atas jasa tersebut, PT KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.

2.      Masalah Beban Ditangguhkan yang Berasal dari Penurunan Nilai Persediaan
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp 6 M yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum di amortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3.      Masalah Persediaan Dalam Perjalanan
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang RP 1,4 M yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

4.      Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya ( BPYBDS ) Dan Penyertaan Modal Negara ( PMN )
BPYBDS sebesar Rp 674,5 M dan PMN sebesar Rp 70 M yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.

5.      Masalah Uang Muka Gaji
Biaya dibayar di muka sebesar Rp 28 Milyar yang merupakan gaji bulan Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005.

Beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT Kereta Api, adalah :

1.      Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor eksternal.

2.      Komite audit tidak ikut dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit.

3.      Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan pada komite audit, dan komite audit juga tidak menanyakannya.

4.      Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika komite audit mempertanyakannya, manajemen merasa tidak yakin.

KESIMPULAN

1.      Perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan.

2.      Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehinnga Dewan Komisaris memiliki satu suara.

3.      Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan.

4.      Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu fakttor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini.

5.      Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku.

6.      Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastrukture Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges), dan BPYBS serta
komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.

SARAN

1.      Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.

2.      Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan.

3.      Komite Audit tidak bicara pada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris.

4.      Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.

5.      Komite Audit berperan aktif dalam mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.

6.      Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat, dan full disclosure.

7.      Komite Audit menjebatani agar semua pihak di perusahaan trlibat aktif dalam pengawasan.


source: http://www.scribd.com/doc/22547071/Pembahasan-Kasus-Pt-Kai-Indonesia