Penerapan proses GCG dalam suatu perusahaanmerupakan proses yang 
tidak mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen dan pemahaman tentang 
bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan dalam perusahaan. Dalam 
perusahaan publik maupun di BUMN penerapan proses GCG belum diterapkan 
dan dipahami seutuhnya. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus – kasus 
yang terjadi.
Seperti kasus audit umum yang dialami oleh PT KAI. Kasus ini 
menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu 
perusahaan dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas di dalam 
menyajikan laporan keuangan yang tidak salah saji dan mampu 
menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang semestinya. PT KAI 
memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan lainnya.
Permasalahan yang dihadapi PT KAI
Kasus ini bermuara dari perbedaan pandangan antara manajemen dan 
komisaris, khususnya ketua komite audit. Komisaris menolak menyetujui 
dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor 
Eksternal.
Perbedaan pandangan tersebut bersumber pada perbedaan pendapat mengenai:
1.      Masalah piutang PPN
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp 95,2 M, menurut Komite Audit
 harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan 
kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak 
dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang 
dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atas 
jasa tersebut, PT KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.
2.      Masalah Beban Ditangguhkan yang Berasal dari Penurunan Nilai Persediaan
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp 6 M yang 
merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum di 
amortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 
2005 sebagai beban usaha.
3.      Masalah Persediaan Dalam Perjalanan
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang RP 1,4 M yang 
dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT 
KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut
 Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.
4.      Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya ( BPYBDS ) Dan Penyertaan Modal Negara ( PMN )
BPYBDS sebesar Rp 674,5 M dan PMN sebesar Rp 70 M yang dalam laporan 
audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang,
 menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas 
dalam neraca tahun buku 2005.
5.      Masalah Uang Muka Gaji
Biaya dibayar di muka sebesar Rp 28 Milyar yang merupakan gaji bulan 
Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah 
dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, 
yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005.
Beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT Kereta Api, adalah :
1.      Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor eksternal.
2.      Komite audit tidak ikut dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit.
3.      Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan pada komite audit, dan komite audit juga tidak menanyakannya.
4.      Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang 
telah disusun, sehingga ketika komite audit mempertanyakannya, manajemen
 merasa tidak yakin.
KESIMPULAN
1.      Perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan.
2.      Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat 
ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang 
mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehinnga Dewan Komisaris 
memiliki satu suara.
3.      Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan 
faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan.
4.      Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang 
belum tercipta dengan baik merupakan salah satu fakttor yang turut 
memiliki andil dalam memicu kasus ini.
5.      Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan 
dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi 
dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang 
berlaku.
6.      Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk 
dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public 
Service Obligation), IMO (Infrastrukture Maintenance and Operation), TAC
 (Track Access Charges), dan BPYBS serta
komputerisasi akuntansi dan 
penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.
SARAN
1.      Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor
 Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor 
Eksternal.
2.      Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan.
3.      Komite Audit tidak bicara pada publik, karena esensinya 
Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan 
Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris.
4.      Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan 
inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui 
proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak 
terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.
5.      Komite Audit berperan aktif dalam mengkoordinasikan seluruh 
tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, 
mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang 
akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.
6.      Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat, dan full disclosure.
7.      Komite Audit menjebatani agar semua pihak di perusahaan trlibat aktif dalam pengawasan.
source: http://www.scribd.com/doc/22547071/Pembahasan-Kasus-Pt-Kai-Indonesia 
 
makasih referensinya.... :)
ReplyDelete