Dec 28, 2012

Kasus Audit Umum PT Kereta Api Indonesia (KAI)

Penerapan proses GCG dalam suatu perusahaanmerupakan proses yang tidak mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan dalam perusahaan. Dalam perusahaan publik maupun di BUMN penerapan proses GCG belum diterapkan dan dipahami seutuhnya. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus – kasus yang terjadi.


Seperti kasus audit umum yang dialami oleh PT KAI. Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas di dalam menyajikan laporan keuangan yang tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang semestinya. PT KAI memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan lainnya.

Permasalahan yang dihadapi PT KAI

Kasus ini bermuara dari perbedaan pandangan antara manajemen dan komisaris, khususnya ketua komite audit. Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal.

Perbedaan pandangan tersebut bersumber pada perbedaan pendapat mengenai:

1.      Masalah piutang PPN
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp 95,2 M, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atas jasa tersebut, PT KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.

2.      Masalah Beban Ditangguhkan yang Berasal dari Penurunan Nilai Persediaan
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp 6 M yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum di amortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3.      Masalah Persediaan Dalam Perjalanan
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang RP 1,4 M yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

4.      Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya ( BPYBDS ) Dan Penyertaan Modal Negara ( PMN )
BPYBDS sebesar Rp 674,5 M dan PMN sebesar Rp 70 M yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.

5.      Masalah Uang Muka Gaji
Biaya dibayar di muka sebesar Rp 28 Milyar yang merupakan gaji bulan Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005.

Beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT Kereta Api, adalah :

1.      Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor eksternal.

2.      Komite audit tidak ikut dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit.

3.      Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan pada komite audit, dan komite audit juga tidak menanyakannya.

4.      Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika komite audit mempertanyakannya, manajemen merasa tidak yakin.

KESIMPULAN

1.      Perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan.

2.      Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehinnga Dewan Komisaris memiliki satu suara.

3.      Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan.

4.      Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu fakttor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini.

5.      Terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku.

6.      Beberapa hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastrukture Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges), dan BPYBS serta
komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.

SARAN

1.      Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.

2.      Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan.

3.      Komite Audit tidak bicara pada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris.

4.      Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.

5.      Komite Audit berperan aktif dalam mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.

6.      Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat, dan full disclosure.

7.      Komite Audit menjebatani agar semua pihak di perusahaan trlibat aktif dalam pengawasan.


source: http://www.scribd.com/doc/22547071/Pembahasan-Kasus-Pt-Kai-Indonesia

1 comment: